Foto: Nograhany Widhi K/detikcom |
Jakarta - Awalnya, Lusi Efriani Kiroyan (34) suka menjenguk narapidana perempuan di Lapas dan Rutan Batam sambil memotivasi mereka, sejak 2012. Lama-lama, Lusi ingin mengajak mereka berbuat agar mandiri. Maka, dia mengajak para napi itu membuat baju batik untuk boneka ala 'Barbie', "Batik Girl".
"Awalnya ide pemberdayaan napi perempuan itu ada di tahun 2012. Saya suka menjenguk mereka, memberikan motivasi. Tapi lama-lama, kok cuma motivasi aja ya. Saya ingin mereka itu bisa mandiri, bisa membiayai diri mereka sendiri," ujar Lusi Efriani di @america, Mal Pacific Place, SCBD, Jalan Jenderal Sudirman, saat ditemui Kamis (16/10/2014) malam.
Pada tahun 2013 dia mendapatkan dana hibah US$ 19.483 dari Kementerian Luar Negeri AS atas proposalnya memproduksi boneka seperti Barbie namun berbaju batik untuk memberdayakan napi perempuan. Caranya, para napi perempuan itu diberdayakan dengan membuat baju batik sang boneka yang dipasarkan dengan merek "Batik Girl".
"Para napi itu mendapatkan Rp 10 ribu dari baju batik boneka yang mereka buat," ujar Lusi yang malam itu menjadi satu dari 6 penerima penghargaan Youth South East Asia Leaders Initiative (YSEALI).
YSEALI adalah kompetisi memenangkan hibah bagi kaum muda usia 18-35 yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan, edukasi, aktivitas sosial masyarakat melalui program-program sosial kemasyarakatan. Kompetisi ini membuka kesempatan bagi seluruh kaum muda yang berada di kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Kamboja, Brunei Darussalam, Filipina) untuk memenangkan hibah sebesar US$ 10.000 untuk pelaksanaan program.
Lusi, tidak serta merta meminta napi perempuan itu untuk membuat baju boneka. Dia merekrut pelatih untuk melatih para napi perempuan di dalam rutan dan lapas, selama 3 hari sebelum membuat baju boneka.
"Baju batik untuk baju boneka itu dari kain batik bekas. Bekas kain atau bekas baju yang dikumpulkan dari para donatur, secara langsung maupun Facebook. Jadi dijamin, 1 boneka itu unik, model bajunya maupun motif batiknya," tutur Lusi.
Ada 3 model "Batik Girl" yang diproduksinya, yakni yang berbaju batik cokelat, berbaju batik merah muda yang keuntungannya disumbangkan untuk yayasan kanker payudara, serta boneka batik berjilbab. Lusi berencana akan membuat model "Batik Girl" yang memegang angklung.
Bonekanya sendiri, Lusi masih mengimpor dari China. Kemudian dipakaikan baju batik, dikemas dan dijual seharga Rp 100 ribu di Indonesia, serta Rp 150 ribu di Malaysia dan Singapura.
"Jangan tanya untung berapa. Ini masih berdarah-darah malah. "Batik Girl" ini baru diluncurkan pada April 2014 lalu," tutur Lusi.
Lusi dan timnya kini mendapatkan hibah US$ 10 ribu dari Kemenlu AS dari ajang YSEALI yang akan digunakannya untuk mempromosikan "Batik Girl" itu. Selain memberdayakan napi perempuan di rutan dan lapas di Batam, Lusi ingin pula perlahan memberdayakan napi perempuan di Rutan Pondok Bambu.
"Kalau di Batam, di lapas dan rutan semuanya ada 60 perempuan. Di Pondok Bambu ada 600 orang. Agak kaget, tapi mudah-mudahan nanti bisa pelan-pelan," ujar perempuan asal Surabaya yang kini tinggal di Batam, Kepri ini.
Mengapa Batik?
Lusi terinspirasi memakaikan baju batik pada boneka serupa Barbie itu kala dia mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) 2011 atas undangan Kemenlu AS selama 2 bulan. Selama di AS, Lusi selalu mengenakan batik sehingga mendapatkan julukan 'Indonesian Doll'.
"Karena tertarik saya mengenakan batik dan menjuluki saya 'Indonesian Doll', maka saya berpikir kenapa tak memakaikan baju batik saja pada boneka. Kalau dijual di luar negeri, bisa sekalian mengenalkan batik dari Indonesia," jelas ibu 2 anak ini.
Selain memberdayakan napi perempuan, Lusi juga mendirikan rumah belajar 'Cinderella from Indonesia Center' di kawasan Duta Mas, Batam Centre. Nama rumah singgah itu diambilnya dari judul buku yang ia tulis sepulang belajar dari Amerika Serikat. Rumah belajar ini sasarannya melatih dan menumbuhkan kewirausahaan sejak dini untuk anak-anak panti asuhan, para single parent yang tidak mampu, anak jalanan dan para penyandang cacat tubuh. Pelatihan itu seperti membuat kue, es dan membantu untuk memasarkannya.
Rumah belajar itu membiayai diri dengan mengadakan pelatihan serupa bagi masyarakat awam dengan sejumlah biaya, yang masih terjangkau tentunya.
Semua itu benar-benar bertujuan sosial bagi Lusi. Lusi sebagai orang tua tunggal sudah mapan sebagai pengusaha batok arang kelapa dan liquid smoke dari asap arang batok kelapa ini. Pangsa pasar produknya mayoritas diekspor. Tak heran pada 2012, Lusi diganjar menjadi satu dari 100 wanita yang menerima penghargaan dari yayasan AS yang memberdayakan perempuan, The International Alliance For Women, karena kegigihannya menjadi wirausaha wanita arang batok kelapa ini.
"Awalnya ide pemberdayaan napi perempuan itu ada di tahun 2012. Saya suka menjenguk mereka, memberikan motivasi. Tapi lama-lama, kok cuma motivasi aja ya. Saya ingin mereka itu bisa mandiri, bisa membiayai diri mereka sendiri," ujar Lusi Efriani di @america, Mal Pacific Place, SCBD, Jalan Jenderal Sudirman, saat ditemui Kamis (16/10/2014) malam.
Pada tahun 2013 dia mendapatkan dana hibah US$ 19.483 dari Kementerian Luar Negeri AS atas proposalnya memproduksi boneka seperti Barbie namun berbaju batik untuk memberdayakan napi perempuan. Caranya, para napi perempuan itu diberdayakan dengan membuat baju batik sang boneka yang dipasarkan dengan merek "Batik Girl".
"Para napi itu mendapatkan Rp 10 ribu dari baju batik boneka yang mereka buat," ujar Lusi yang malam itu menjadi satu dari 6 penerima penghargaan Youth South East Asia Leaders Initiative (YSEALI).
YSEALI adalah kompetisi memenangkan hibah bagi kaum muda usia 18-35 yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan, edukasi, aktivitas sosial masyarakat melalui program-program sosial kemasyarakatan. Kompetisi ini membuka kesempatan bagi seluruh kaum muda yang berada di kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Kamboja, Brunei Darussalam, Filipina) untuk memenangkan hibah sebesar US$ 10.000 untuk pelaksanaan program.
Lusi, tidak serta merta meminta napi perempuan itu untuk membuat baju boneka. Dia merekrut pelatih untuk melatih para napi perempuan di dalam rutan dan lapas, selama 3 hari sebelum membuat baju boneka.
"Baju batik untuk baju boneka itu dari kain batik bekas. Bekas kain atau bekas baju yang dikumpulkan dari para donatur, secara langsung maupun Facebook. Jadi dijamin, 1 boneka itu unik, model bajunya maupun motif batiknya," tutur Lusi.
Ada 3 model "Batik Girl" yang diproduksinya, yakni yang berbaju batik cokelat, berbaju batik merah muda yang keuntungannya disumbangkan untuk yayasan kanker payudara, serta boneka batik berjilbab. Lusi berencana akan membuat model "Batik Girl" yang memegang angklung.
Bonekanya sendiri, Lusi masih mengimpor dari China. Kemudian dipakaikan baju batik, dikemas dan dijual seharga Rp 100 ribu di Indonesia, serta Rp 150 ribu di Malaysia dan Singapura.
"Jangan tanya untung berapa. Ini masih berdarah-darah malah. "Batik Girl" ini baru diluncurkan pada April 2014 lalu," tutur Lusi.
Lusi dan timnya kini mendapatkan hibah US$ 10 ribu dari Kemenlu AS dari ajang YSEALI yang akan digunakannya untuk mempromosikan "Batik Girl" itu. Selain memberdayakan napi perempuan di rutan dan lapas di Batam, Lusi ingin pula perlahan memberdayakan napi perempuan di Rutan Pondok Bambu.
"Kalau di Batam, di lapas dan rutan semuanya ada 60 perempuan. Di Pondok Bambu ada 600 orang. Agak kaget, tapi mudah-mudahan nanti bisa pelan-pelan," ujar perempuan asal Surabaya yang kini tinggal di Batam, Kepri ini.
Mengapa Batik?
Lusi terinspirasi memakaikan baju batik pada boneka serupa Barbie itu kala dia mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) 2011 atas undangan Kemenlu AS selama 2 bulan. Selama di AS, Lusi selalu mengenakan batik sehingga mendapatkan julukan 'Indonesian Doll'.
"Karena tertarik saya mengenakan batik dan menjuluki saya 'Indonesian Doll', maka saya berpikir kenapa tak memakaikan baju batik saja pada boneka. Kalau dijual di luar negeri, bisa sekalian mengenalkan batik dari Indonesia," jelas ibu 2 anak ini.
Selain memberdayakan napi perempuan, Lusi juga mendirikan rumah belajar 'Cinderella from Indonesia Center' di kawasan Duta Mas, Batam Centre. Nama rumah singgah itu diambilnya dari judul buku yang ia tulis sepulang belajar dari Amerika Serikat. Rumah belajar ini sasarannya melatih dan menumbuhkan kewirausahaan sejak dini untuk anak-anak panti asuhan, para single parent yang tidak mampu, anak jalanan dan para penyandang cacat tubuh. Pelatihan itu seperti membuat kue, es dan membantu untuk memasarkannya.
Rumah belajar itu membiayai diri dengan mengadakan pelatihan serupa bagi masyarakat awam dengan sejumlah biaya, yang masih terjangkau tentunya.
Semua itu benar-benar bertujuan sosial bagi Lusi. Lusi sebagai orang tua tunggal sudah mapan sebagai pengusaha batok arang kelapa dan liquid smoke dari asap arang batok kelapa ini. Pangsa pasar produknya mayoritas diekspor. Tak heran pada 2012, Lusi diganjar menjadi satu dari 100 wanita yang menerima penghargaan dari yayasan AS yang memberdayakan perempuan, The International Alliance For Women, karena kegigihannya menjadi wirausaha wanita arang batok kelapa ini.