Setelah deklarasi penutupan yang dilakukan Pemkot Surabaya pada 18 Juni lalu, siapa bilang sudah tak ada aktivitas di Gang Dolly dan Jarak? Lokalisasi terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan ini, masih memperlihatkan 'denyut nadinya', bahkan makin liar.
Dari penelusuran merdeka.com, Rabu malam (29/10), secara fisik, seluruh rumah bordil yang dulu pernah ada memang sudah beralih fungsi. Situasi lokalisasi yang didirikan Noni Belanda, Dolly Van Der Mart itu, sudah benar-benar steril.
Hanya saja, khusus di eks Wisma Barbara, masih terdengar keras suara musik disko. Namun tidak terlihat menyediakan pelayan-pelayan 'cinta semalam'. Maklum, di wisma yang terakhir dikelola oleh Sakak ini, adalah warisan sang Maestro Dolly, yaitu Tante Dolly alias Dolly Van Der Mart.
Di lokalisasi ini, sudah tak ada lagi 'akuarium raksasa,' yang menjadi ciri khas Dolly dan Jarak. Wanita-wanita berpakaian 'penggoda syahwat' yang biasa duduk di atas sofa dan menjadi pajangan di etalase kaca sudah tidak terlihat.
Wisma-wisma yang dulu riuh menawarkan paha dan dada wanita-wanita aduhai, beberapa dibiarkan tanpa penerangan seolah menunjukkan rumah syahwat itu memang sudah tutup. Beberapa lagi tetap diberi penerangan, untuk menunjukkan identitas rumah tersebut berpenghuni tapi tidak lagi sebagai wisma, melainkan sebagai bangunan untuk rumah tangga. Semua kembali seperti pemukiman penduduk biasa.
Siapapun yang melintasi lorong-lorong eks lokalisasi di Kelurahan Putat Jaya ini, tidak akan lagi melihat tulisan Wisma Barbara, New Barbara, Madona, Srikandi, Nusa Dua maupun nama-nama wisma-wisma yang lain, baik itu di Dolly maupun di Jarak. Semuanya sudah dihapus.
Gambar sponsor minuman keras juga sudah tidak terlihat lagi menempel pada bangunan-bangunan yang dulu menjadi rumah esek-esek tersebut. Semuanya juga sudah dicopot.
Namun, di balik visualisasi itu, geliat para mucikari atau makelar cinta masih sangat terlihat nyata. Di Jalan Jarak, lelaki duduk di atas becak, siap menyapa dan menawarkan perempuan-perempuan pemuas nafsu bagi siapa saja yang lewat di depannya.
Pun begitu dengan para lelaki yang duduk di depan teras rumah bekas wisma. Di warung-warung kopi, beberapa lelaki tak segan menawarkan wanita-wanitanya terang-terangan, seperti saat Dolly dan Jarak belum ditutup.
Kemudian saat masuk ke Gang Dolly, terlihat jelas puluhan lelaki, ada yang bergerombolan, ada juga hanya duduk-duduk di depan rumah, juga tanpa sungkan menawarkan gacoannya.
"Ayo mas, anak-anaknya ada," begitu ucap mereka menawarkan perempuan-perempuannya dengan logat Suroboyoan.
Ternyata, denyut prostitusi di eks lokalisasi tersohor se-antero Nusantara ini sudah benar-benar beralih fungsi. Dari fungsi bermain di tempat, menjadi di luar tempat.
Dari memilih wanita langsung di 'akuarium raksasa' berganti di mesin smartphone alias BlackBerry, ada juga yang menggunakan tablet.
"Sekarang (Dolly dan Jarak) sudah ditutup. Sekarang pakai sistem booking. Harganya antara Rp 300 sampai Rp 450 ribuan. Mainnya tidak di sini, tapi di hotel," terang seorang pemilik warung kopi di sekitar Dolly.
Inilah gambaran kesuksesan si Singa Betina, Tri Rismaharini menutup seluruh bisnis esek-esek di Kota Pahlawan ini. Saat penutupan, wali kota perempuan pertama di Surabaya yang terkenal garang itu, cukup yakin bisa menutup Dolly dan Jarak.
Bahkan, Risma-pun sukses mempolisikan Sahputra alias Pokemon (30/10), sang pemimpin gerakan perlawanan di Dolly, yang saat ini sudah menjalani persidangan. Hari ini, juga dijadwalkan menjalani sidang lanjutannya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Inilah sukses Tri Rismaharini 'menggusur' Gang Dolly dan Jarak. Berhasil mengalihfungsikan wisma esek-esek, menjadi area transaksi cewek bookingan via mesin smartphone. Alih fungsi dari melihat cewek secara manual ke elektronik. Dari 'makan' di tempat ke model pelayanan jasa antar.